OPINI : “KETEGASAN” UPAYA MENJAGA CITRA SEKOLAH”

“KETEGASAN” UPAYA MENJAGA CITRA SEKOLAH

Di Kalimantan Tengah, animo orang tua dalam memberikan pendidikan formal kepada anak-anaknya semakin hari menunjukan kearah yang cukup memuaskan, hal ini dipacu oleh program-program dari pemerintah, dengan beberapa item-item yang memberikan keringanan melalui kompensasi-kompensasi, dari berbagai sektor guna mengentaskan kebodohan dan kemiskinan melalui jalur pendidikan formal. Sejalan dengan itu, sekolah sebagai lembaga yang paling dekat dengan siswa diwajibkan mampu memberikan input yang besar dalam pengembangan IPTEK dan AHLAK bagi semua anak didik.

Dalam hal ini juga, sekolah bukan sekadar mampu memberikan suntikan ilmu pengetahuan/teknologi dan moral saja, sekolah juga diharapkan mampu mengakomodir semua program-program yang telah ditetapkan oleh pemerintah, dari penyaluran dana kompensasi kepada anak didik, sampai pemberian penghargaan kepada anak didik yang berprestasi.

Tanggung jawab mendidik anak disekolah adalah kewajiban dan menjadi TUGAS UTAMA yang diemban oleh para guru, pekerjaan ini akan lebih mudah apabila adanya kepercayaan penuh dari para orang tua dan kepatuhan para siswa itu sendiri terhadap aturan-aturan yang sudah ditetapkan oleh sekolah, tetapi akan terasa sulit apabila adanya sikap apriori orang tua, ditambah lagi kurangnya kepatuhan siswa terhadap berbagai aturan dan tata tertib, yang telah ditetapkan baik oleh dewan guru maupun oleh pihak sekolah.

Antara sekolah, orang tua, dan siswa disadari adanya suatu keterikatan sosial dalam upaya memberikan layanan pendidikan yang optimal kepada anak didik. Hal ini disebabkan anak didik itu sama seperti pedang bermata dua, yang juga memiliki pengaruh terhadap citra sekolah, pada satu sisi mereka mampu mengangkat dan mengharumkan nama sekolah melalui prestasi-prestasi yang di raih baik itu dalam bidang olah raga, saint bahkan sampai pada ahlak, dan biasanya prestasi-prestasi itu bukan sebatas lokal saja, terkadang juga bisa sampai ke tempat yang sebelumnya tanpa kita duga, namanya juga prestasi, sesuatu yang di dapat melalui pengorbanan, hanya saja tidak sampai mengorbankan nyawa tentunya.

Bagi sekolah yang memiliki anak-anak didik yang berprestasi merupakan kebanggaan tersendiri bagi sekolah dan juga dewan guru, karena akan memberikan nilai plus bagi pengembangan citra sekolah dimata sekolah-sekolah lain. Intinya semakin banyak anak menoreh prestasi, semakin baik pula citra sekolah dan semakin tinggi pula pratice sekolah itu dikalangan masyarakat.

Sisi lainnya, anak didik juga bisa mempunyai potensi sebagai perusak citra sekolah, tetapi dari sisi ini jarang sekali sampai terekspose keluar, dan biasanya mampu di netralisir dengan cara-cara tersendiri, yang dilakukan oleh pihak sekolah. Misalnya pada Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA), umumnya pada usia-usia SLTA adalah penuh dengan gejolak remaja, masa-masa puberitas, enerjik, tebar pesona, dan tahap mencari jati diri, ketertarikan terhadap lawan jenis sudah bagian dalam dunia remajanya, tak jarang hubungan pranikah bisa terjadi, hal ini bila diketahui oleh pihak sekolah maka tindakan yang diambil adalah dengan memberhentikan para pelakunya dari sekolah, tindakan ini juga sama pada siswa yang kedapatan mengkonsumsi narkoba, miras atau pada kasus-kasus yang dianggap mencemarkan nama baik sekolah.

Tidak semua dewan guru dalam suatu sekolah mampu mengawasi perilaku para anak didik, apalagi dalam satu sekolah memiliki ratusan siswa, namun berapapun banyaknya jumlah siswa apabila di sekolah sudah ada aturan-aturan dan tata tertib yang jelas, dan para dewan guru juga “KONSISTEN” dengan aturan tata tertib yang ada tanpa pandang bulu, apakah itu anak didik ada hubungan keluarga, atau hal lainnya, bila melakukan pelanggaran tetap mendapat sanksi sesuai dengan kesalahannya, maka segala bentuk penyimpangan akan bisa di minimalisasi, sehingga citra sekolah akan selalu dapat dijaga.

Menghadapi berbagai karakter para anak didik dengan latar belakang yang berbeda-beda, bagi para guru bukan suatu usaha yang mudah untuk mengatasinya, jika kurang sabar bisa menjadi pemicu timbulnya perasaan malas, bosan, atau terkadang bisa stress, tak heran kadang-kadang tanpa disengaja timbul keluhan dan makian terhadap perilaku anak didik yang menjengkelkan.

Kepatuhan terhadap aturan bagi elemen-elemen yang ada disekolah sangat perlu, apabila ingin citra sekolah tetap terjaga, baik dimata para anak didik, guru, masyarakat sampai pada pemerintah. Kepatuhan itu sendiri ada jika pihak sekolah mampu bertindak “TEGAS”. Kepala Sekolah dan Dewan Guru sebagai pengendali disiplin para anak didik terhadap berbagai aturan-aturan yang telah ditetapkan menjadi “KUNCI” baik buruknya citra sekolah itu sendiri, karena ketika anak sudah memasuki gerbang sekolah, berarti semua atribute sekolah secara otomatis melekat pada anak tersebut berikut aturan tata tertib sekolahnya.

Mengapa sangat diperlukannya suatu KETEGASAN dalam mengatasi suatu pelanggaran adalah tidak lain untuk menjaga citra atau image sekolah itu sendiri, karena makna yang didapat dari suatu ketegasan adalah mutlak dan harus dipatuhi oleh siapapun yang melakukan pelanggaran. Apabila para pengambil keputusan dalam hal ini kepala sekolah dan dewan guru tidak dapat bertindak tegas terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh para anak didik, maka dimata mereka sekolah tempat menuntut ilmu itu dianggapnya sebagai playgroup saja.

Ada beberapa faktor mengapa ”KETEGASAN” kadang begitu sulit diambil oleh kepala sekolah dan dewan guru dalam menghadapi anak didik yang selalu melakukan pelanggaran terhadap tata tertib sekolah, diantaranya :
1. Anak didik atau orang tua murid dengan dewan guru ada hubungan keluarga.
2. Anak didik dari latar belakang; ekonomi kurang mampu, tidak memiliki orang tua atau wali, cacat, daya tangkap lemah.
3. Orang tua atau wali siswa terkadang membela anaknya dan tidak terima apabila pihak sekolah memberikan sanksi, hal ini biasanya dikarenakan anak yang bermasalah itu tidak menceritakan masalah yang sebenarnya kepada orang tua atau walinya.
4. Pelanggaran yang dilakukan siswa dianggap biasa-biasa saja, misalkan siswa tidak memakai kelengkapan pakaian seragam, menggunakan alat kosmetika,dan sebagainya
5. Anak didik yang memiliki temperamental yang agresif, type anak seperti ini umumnya bisa berbuat nekat, dan bisa lebih berbahaya.
6. Diantara pengambil keputusan, dalam hal ini kepala sekolah dan dewan guru terkadang tidak terdapat kesepakatan terhadap suatu putusan, sehingga timbul dualisme persepsi.
7. Adanya intervensi dari pihak lain yang memiliki pengaruh terhadap kewenangan sekolah.

Dari berbagai faktor tersebut mampukah para pengambil keputusan (pihak sekolah) bertindak tegas terhadap pelanggaran aturan disekolah, secara khusus pelanggaran yang dilakukan oleh para pelajarnya? Atau lebih baik diam saja, seolah tidak ada pelanggaran andai penyimpangan itu terjadi didepan mata, walaupun ada konsekwensi yang diterima?

Penulis : SILPANUS, SE Guru SMAN-I Danau Sembuluh Kabupaten Seruyan

Artikel “Dinamika Pendidikan Di Pedesaan” oleh Silpanus

OPINI

“DINAMIKA PENDIDIKAN DI PEDESAAN”

Sekarang ini dimana sarana prasarana infrastruktur relative sudah dirasakan manfaatnya bagi masyarakat yang berada di pedesaan secara khusus masyarakat pedesaan yang ada di bumi Kalimantan Tengah, seiring berkembangnya sarana prasarana infrastruktur sungguh membawa angin segar dan sedikit demi sedikit mulai mengikis keterisolasian baik dari segi kultur social budaya sampai kepada dunia pendidikan yang ada dilingkungan pedesaan itu sendiri. Bila dilihat dari segi pendidikan, baik dari tingkat Taman Kanak-Kanak, Sekolah Dasar, sampai kepada Sekolah Lanjutan Tingkat Atas yang ada di pedesaan sangat memberi arti yang sangat dalam bagi kehidupan pendidikan bagi masyarakat setempat, bahkan manfaatnya juga biasa dirasakan oleh masyarakat lain yang berada diluar desa tersebut. Sarana dan prasarana pendidikan ini tentunya merupakan kepedulian serius dari Pemerintah dalam upaya mencerdaskan generasi-generasi muda agar dimasa-masa mendatang sumber daya manusia yang dimiliki bumi Isen Mulang mampu bersaing, baik pada skala nasional sampai pada tingkat internasional.

 Pendidikan bagi masyarakat adalah mutlak dan wajib, bukan hanya untuk masyarakat perkotaan tetapi juga mutlak bagi masyarakat pedesaan, tidak hanya suatu kewajiban bagi orang-orang berekonomi menengah keatas tetapi juga merupakan tekad bagi masyarakat yang berekonomi lemah untuk merasakan manis pahitnya suatu pendidikan, hanya saja yang nyata terlihat dari segi ekonomi memang terasa perbedaannya, bagi yang berekonomi lemah maka pendidikan dalam suatu keluarga tersebut akan berada pada level-level tertentu saja, dibandingkan mereka yang berekonomi mapan tentunya banyak peluang untuk memperoleh pendidikan pada level-level atas, disamping ekonomi memang banyak factor juga yang mempengaruhi keberhasilan seseorang dalam meraih pendidikannya.

 Sarana dan prasarana, kualitas dan kuantitas sampai kepada kesejahteraan adalah bagian dari suatu perbedaan antara pendidikankotadan pendidikan yang ada dipedesaan, baik yang dirasakan oleh tenaga pedidik sampai kepada orang tua dan siswa itu sendiri. Perbedaan-perbedaan tersebut layaknya seperti dua sisi mata uang yang berbeda tetapi memiliki satu fungsi. Dijaman sekarang ini akankah perbedaan-perbedaan klasik tersebut selalu menjadi penghambat bagi kemajuan suatu pendidikan? Tentunya beragam cara sudah banyak dilakukan untuk meminimalisasikan perbedaan-perbedaan tersebut.

 Umumnya yang selalu menjadi penghambat kemajuan pendidikan yang ada dipedesaan adalah

  1. Kurang tersedianya fasilitas penunjang pembelajaran,
  2. Relatif kurang efektifnya ketercapaian penyampaian suatu materi pembelajaran kepada siswa disebabkan guru memegang lebih dari satu bidang studi mata pelajaran yang diampunya. Dengan bahasa lain, kuantitas guru sangat sedikit sehingga menyebabkan satu orang guru bisa menyampaikan dua sampai tiga mata pelajaran yang berbeda sekaligus dalam seminggu dengan bobot jam mengajar lebih dari standar seharusnya.
  3. Banyaknya jumlah siswa dalam satu ruangan melebihi dari daya tampung kelas,
  4. Tingkat penghargaan yang diterima oleh guru dalam bentuk kesejahteraan terkadang tidak  sesuai dengan pengabdiaannya sehingga bisa menyebabkan menurunnya semangat kerja yang berdampak pada penyampaian materi kepada siswa menjadi sekadarnya saja, sehingga pada akhirnya konsistensi terhadap waktu belajar menjadi menurun,
  5. Kurang terciptanya keharmonisan hubungan social antara guru dan siswa, guru dan staf, guru dan atasan sampai kepada guru dan orang tua, hal ini terkadang disebabkan oleh missunderstading atau kurang transparansi terhadap suatu masalah.

 Hal-hal tersebut baru sebagian yang merupakan factor ekternal, sedangkan factor internal yang juga berpotensi menjadi penghambat suatu kemajuan pendidikan khususnya dipedesaan adalah bila mulai terkikisnya rasa memiliki, tanggung jawab terhadap tugas, dan beban moral baik itu bagi tenaga pendidik sampai kepada anak didik.  Tidak ada rasa memiiki terhadap sekolah berarti tidak mau tahu atau cuek saja dengan aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh sekolah sehingga terkesan sekolah hanya dijadikan sebagai rumah singgah saja dan bukan sebagai wadah untuk menyatukan visi dan misi sekolah, dampak lain yang akan terasa adalah dari sisi tanggung jawab. Orang tua siswa umumnya tidak terlalu banyak tahu tentang aktifitas anaknya selama proses belajar mengajar disekolah, mereka hanya berasumsi bahwa disekolah anaknya sedang mengikuti kegiatan belajar mengajar. Saat-saat seperti itulah tenaga pendidik dituntut untuk memiliki tanggung jawab terhadap aktifitas anak didik selama mengikuti proses pembelajaran disekolah, dan faktor internal yang ketiga yaitu beban moral. Berhasil tidaknya anak didik tidak lepas dari campur tangan tenaga pendidiknya, bila anak didiknya berhasil tentu menjadi kebanggaan bagi gurunya, secara moral tenaga pendidik itu telah menjalankan amanah orang tua murid dan pemerintah untuk mencerdaskan generasi-generasi muda, sebaliknya jika anak didik itu gagal tentu menjadi bahan koreksi bagi para pengajarnya.

 Dalam hal ini dibutuhkan kesepahaman persepsi bukan hanya bagi para pendidik tetapi juga bagi para anak didik. Dipedesaan, sekolah memiliki keanekaragaman kebiasaan dengan kultur aturan yang berbeda-beda, hal ini bisa disebabkan oleh tipical para anak didik yang bermacam-macam,  bagi yang aktif tentunya memberikan kemudahan bagi para pengajar untuk mengembangkan imajinasi dan kreatifitas anak didik, namun bagi yang pasif membuat para pengajar lebih banyak melakukan proses pembelajaran yang bersifat monolog dan terkesan terpusat pada guru saja.  Dilihat dari sisi pendekatan social antara guru dan murid, dipedesaan guru dan murid lebih banyak bersosialisasi bukan hanya dalam proses belajar mengajar disekolah, tetapi dalam kehidupan bermasyarakat, hal ini dikarenakan letak geografis atau luas suatu wilayah desa tidak seluas wilayah yang ada diperkotaan, sehingga memudahkan guru dan murid selalu berinteraksi. Dan guru selalu bisa melihat dan mengontrol prilaku anak didik dalam kesehariaannya di luar sekolah.

 Dalam menghadapi perilaku anak didik yang notabene adalah dari kalangan pedesaan, tentu dalam penyampaian proses belajar mengajar disekolah sedikit banyak dipengaruhi oleh budaya local setempat, mulai darigayaberbahasa, bergaul, sampai pada cara anak didik menyerap suatu materi yang disampaikan. Pendekatan yang digunakanpun tergantung dari para pengajarnya, namanya juga didesa, setelah pulang dari sekolah bisa saja anak didik membantu orang tuanya bekerja sehingga materi-materi yang disampaikan hanya terserap sebatas proses belajar mengajar disekolah saja, selebihnya mereka lebih banyak berinteraksi dengan lingkungannya masing-masing.  Sejatinya para anak didik, belajar bukan hanya sebatas disekolah saja, tetapi bagaimana mereka mengulang pelajaran disekolah itu dirumah atau dengan membuat kelompok-kelompok belajar, bahkan dengan tambahan les atau private lainnya. Didesa hal ini sangat jarang dikembangkan, kasunya tetap saja sama, yaitu jika pelajaran seklolah usai, selanjutnya adalah waktu untuk membantu ekonomi keluarga, bahkan ada yang memanfaatkan untuk berinteraksi sesama temannya dalam kegiatan yang tidak ada hubungannya dengan pelajaran disekolah.

 Beragam dinamika inilah sering membuat para guru yang bertugas dipedesaan dituntut membuat formula pembelajaran yang lebih tepat sasaran dengan tidak mengesampingkan pedoman-pedoman pendidikan yang sudah diatur dan ditetapkan baik oleh pusat maupun pemerintah daerah melalui departemen dan dinas-dinas terkait.  Standarisasi pendidikan yang telah diatur dan ditetapkan, mengharuskan para guru untuk bisa membantu anak didik meraih ketuntasan yang optimal dalam proses pembelajaran walaupun terdapat keterbatasan yang mungkin menghambat proses pembelajaran itu sendiri, namun tetap saja ada jalan keluarnya dalam menghadapi keterbatasan itu dan masing-masing guru dan sekolah memiliki cara tersendiri mengatasinya.

 Jika di ilustrasikan sekolah itu adalah restorant. Jika dikotarestorant pasti banyak menawarkan menu-menu makanan yang lezat, sementara didesa restorantnya hanya menawarkan satu menu saja. Dari menu yang ditawarkan sungguh sangat jauh perbedaanya, namun satu yang ingin dicapai oleh kedua restorant itu, yaitu bagaimana orang yang makan di restorantnya itu bisa kenyang dan keluar dengan senyuman!?

                                                                  Penulis :     SILPANUS

                                                                                    Guru SMAN-I Danau Sembuluh

                                                                                    Kabupaten Seruyan

Guru Berprestasi Jenjang SMA Tk. Propinsi Kalimantan Tengah

SELAMAT DATANG DI BLOG SAYA,………….